Selama ini saya hanya mendengar berita betapa sulitnya orang tua untuk mencari sekolah yang cocok bagi putra-putrinya.Kala itu saya berpikir apakah memang para orang tua ini hanya ingin anaknya cepat-cepat dapat sekolah atau karena mereka tidak bersedia menjalankan setiap tahapan dalam mendaftarkan anak dalam PSB (Penerimaan Siswa Baru).
Sekarang saya baru merasakan sendiri. Ketika ada seorang keponakan ngotot mau sekolah di Jakarta, saya langsung angkat topi kepadanya. Walaupun tanggapan saya tidak langsung sampai kepada yang bersangkutan, tetapi saya mencoba untuk mencari informasi. Pegangannya hanya satu, Jos, demikian nama anak itu mau masuk SMK di Jakarta. Alasannya, kalau dia bertahan sekolah lebih lama di Lintongnihuta, Humbang Hasundutan, mungkin sekali dia akan rusak. Pergaulan dengan teman lebih banyak negatifnya. Karena dia mau maju, maka tempat yang paling tepat adalah Jakarta. Dan di Jakarta dia punya cukup banyak saudara-opung, tulang, uda, namboru.
Tentu saja saya mencari informasi sekolah mana yang bagus di daerah Jakarta Timur, khususnya Kecamatan Kramat Jati. Maksudnya supaya dekat ke rumah. Irit ongkos dan waktu.Tapi yang pasti, SMK dimaksud cukup berkualitas baik.
Yang paling dekat adalah SMKN 10, hanya berjarakk 300 meter dari rumah. Tapi karena sekolah favorit, standar nilainya amat tinggi. NEM rata-rata harus minimal 8. Padahal, si Jos menurut saya agak susah untuk mendapat poin setinggi itu. Ditambah lagi, ketentuan Pemerintah DKI Jakarta untuk mengenakan persyaratan tambahan yang lebih berat bagi anak yang berasal dari luar Jakarta. Konkritnya, siswa luar Jakarta dituntut untuk mempunyai nilai rata-rata 1 poin lebih tinggi. Itupun hanya untuk 5% dari total jumlah kursi.
Tidak ada jalan lain, harus mencari sekolah swasta tapi berkualitas. Ditemukanlah sebuah SMK di daerah Halim.Saya ambil formulir pada hari Senin, 7 Juli 08 sekitar pukul 11.00. Sesuai dengan dugaan, pendaftar ke sekolah itu memang banyak. Formulir pendaftar untuk yang masuk pagi sudah habis. Otomatis saya mengambil formulir untuk yang masuk siang. Oleh petugas, disarankan untuk cepat-cepat kembali dengan membawa persyaratan dan mengisi formulir.
Sayangnya, si Jos baru berangkat pada hari yang sama sore harinya. Karena keterbatasan biaya, dia harus berbesar hati untuk naik bis PMH. Berangkat sore hari dari Siborongborong yang berjarak 1/3 jam perjalanan dari Hutabaris. Bagaimana mungkin saya mendaftar lebih cepat, data-data Jos serta rapot dan KHN masih dipegangnya. Belum lagi, saya menunggu suply uang pendaftaran dari tulang/pamannya.Walaupun begitu, saya tidak khawatir karena formulir sudah di tangan. Jos dan uang akan tiba pada hari Kamis. Masih ada waktu, Jumat dan Sabtu sesuai dengan ketentuan waktu di brosur dalam map pendaftaran.
Alangkah kagetnya saya, ketika mendapati sekolah swasta itu menyatakan penerimaan siswa sudah tutup. Alasannya tunggal, kursi sudah penuh. Tambah sedih lagi, ukuran penuh ada siswa yang sudah membayar terlebih dahulu itulah yang diterima. Pada waktu pengambilan brosur, tidak dinyatakan secara transparan kriteria penerimaan siswa. Kita sebagai orang tua/wali sudah merasa aman dengan memegang formulir di tangan. Yang jelas, mereka menjual sejumlah formulir yang melebihi daya tampung. Itu masuk akal karena mereka mau mendapat keuntungan dari penjualan formulir. Selain itu, mereka memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat.Wajar saja, rekan-rekan orang tua/wali yang mengalami nasib sial ini meradang.
Kita bukannya tidak niat untuk menyekolahkan anak ke sini, tapi karena harus berupaya untuk terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang dimaksud berupa sejumlah dokumen dan uang.Tentu saja hal ini sangat memukul orang tua/wali dan anak. Mau tidak mau, kita berpikir berarti hanya yang punya uang lebih banyak dan lebih cepatlah yang paling berhak menikmati asam manisnya pendidikan.
Memang sih, masih ada kemungkinan untuk mencari sekolah lain. Yang kita sesalkan adalah caranya. Kita tidak bisa terima tersisih hanya karena "terlambat" mengembalikan formulir. Pihak sekolah tidak memberikan ketentuan yang jelas dan lugas yang bisa dianggap fair.
Dalam kondisi demikian, saya cuma berharap ada kebijakan yang lebih manusiawi. Artinya, paling tidak diberikan kesempatan untuk masuk dalam daftar tunggu. Semacam cadangan, siapa tahu ada yang mengundurkan diri atau terjadi sesuatu halangan.
Inilah secuil potret dunia pendidikan kita. Manajemen penerimaan siswa baru saja tidak beres, apalagi dalam proses belajar-mengajar, ujian serta kualitas lulusannya.
11.7.08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar